EXULANSIS
Pernahkah kau berpikir bagaimana sulitnya mengucapkan suatu hal? Meski kata-kata terasa di ujung lidah namun hati sangat kuat menahan hingga ia kembali redam kembali mengalir dalam aliran darah
Mengatakan sesuatu yang kita pikirkan berbeda dengan mengatakan
sesuatu yang kita rasakan. Pada kenyataannya berbicara tidaklah semudah yang
ada pada teori-teori buku bahasa. Tidak semudah menata kalimat yang hanya
dirunut berdasarkan SPOK, premis, paraphrase atau majas, tidak semudah itu. Jauh
dari bagaimana kita mengenal struktur kalimat, ternyata berbicara selalu
terhubung dengan dua hal; pikiran dan perasaan.
Berbicara juga sering dihubungkan dengan moral, etika, adab dan
tata krama sosial yang tentu akan berbeda di setiap negara-negara. Cara kita
bicara dengan teman sebaya akan berbeda dengan car akita berbicara dengan orang
tua, juga berbeda dengan cara kita berbicara terhadap guru dan beberbeda pula car
akita berbicara dengan lawan jenis yang kita suka. Akan selalu ada intervensi
rasa saat kita hendak berbicara. Kepada orang tua diintervensi rasa patuh,
kepada guru diintervensi rasa hormat, kepada orang yang kita suka diintervensi
rasa suka. Semakin banyak orang yang kita ajak bicara, akan semakin beragam
tata bahasa yang keluar dari tutur bahasa kita.
Tapi pernahkah suatu waktu kita jadi sulit untuk mengatakan sesuatu
meski kita yakin tata bahasa kita sudah baik dan sesuai dengan tata krama
sosial? Tiba-tiba ada rasa yang benar-benar menghentikan lidah untuk
mengatakannya. Seolah-olah berbicara jadi tidak ada artinya, dan berakhir
menjadi seorang pendengar ulung yang mengangguk-angguk setiap pembicaraan?
Hal itu biasanya terjadi ketika kita merasa lawan bicara kita tidak
sanggup memahami apa yang kita katakan, sehingga membuat kita tidak bisa
mengatakan apa yang sebenarnya kita rasakan. Hal itu dirasa percuma dikatakan
karena tidak akan bisa dimengerti oleh orang lain. Exulansis, merupakan
istilah yang menggambarkan kondisi di mana seseorang merasa menyerah mengatakan
tentang apa yang ia rasakan kepada seseorang karena merasa tidak akan ada yang
bisa mengerti apa yang ia ucapkan. Ada rasa menyerah atau putus asa yang ikut
campur dalam bahasa yang membuatnya jadi tak terucap, dan biasanya merupakan
hal-hal yang dirasakan, bukan hal-hal yang dipikirkan.
Apa yang kita rasakan di dalam diri merupakan hal-hal esklusif yang
tidak pada sembarang orang kita katakan, tapi saat ada seseorang kita anggap
bisa mengerti namun tidak lagi mengerti, saat itulah kita akan berada pada
titik depresi untuk berbahasa atau berbicara.
Komentar
Posting Komentar