Lof I - IV
"kami adalah manusia! kami berhak mendapatkan kesetaraan hak! kami bukan properti yang bisa dimiliki! kami bukan sapi perah! kami bukan objek seksual! kami adalah perempuan! dan kami berhak atas keadilan! kamilah yang melahirkan peradaban! Dunia ini, berhutang budi pada perempuan!"
Begitulah orasi yang menggebu-gebu dari seorang perempuan yang ku kenal, Lof.
Seorang mahasiswi yang sangat aktif menyerukan suara perlawanan terhadap ketidak setujuannya atas dominasi patriarki yang menindas dan merugikan perempuan.
Aku penasaran, apakah nada-nada perlawanan yang ia gaungkan terhadap patriarki juga sama terhadap perasaannya dengan lawan jenis.
Patriarki menurutku bukan soal lawan jenis, melainkan sistem dominasi yang merugikan dan menindas jenis lain. Lain hal dengan lawan jenis yang ku maksud, seperti halnya seseorang yang ia suka, atau memang ia tidak menyukai lawan jenis? Tidak, ku rasa itu tidak mungkin.
Sejak siang tadi ia berorasi tepat di depan kampus dengan semangat yang menggebu.
Aku kembali bertanya, apakah pertikaian ku dengannya kemarin sama sekali tidak mengganggunya?
Setelah selesai dari panggung orasi, ia menghampiriku yang mengamati sejak tadi.
Kami berdua duduk tepat di seberang jalan tempat demonstrasi tadi. Dengan keringat yang mulai dingin dan senyum puas ia menyapa dan bertanya,
"bagaimana orasi ku tadi?"
Karena tidak ingin memperpanjang soal itu, aku berpura-pura tidak mendengar orasinya karena sedang memakai earphone. Memang benar aku memakai earphone tapi jika sedang mengamati seseorang, aku biasanya tidak mendengarkan apapun dari earphone, hanya agar tidak terlihat bahwa aku sedang mendengarkan.
Ia kemudian mengeluarkan sebatang rokok dan mulai membakarnya.
"shhhh, huufff" kepulan asap keluar dari bibirnya yang sedikit bau anggur. Aku pun ikut membakar sebatang rokok untuk menjernihkan pikiranku.
"kau ingat pertikaian kita kemarin?" tiba-tiba saja ia bertanya tentang hal yang paling ku hindari.
"ya, masih segar dalam ingatan" jawabku.
"aku sedikit merenung setelah meninggalkanmu waktu itu." sembari menghisap rokok, ia melanjutkan perkataannya,
"aku sadar bahwa kita memang cukup kesepian, sekuat apapun kita, kita selalu membutuhkan seseorang yang bisa kita miliki, seseorang yang menyatakan kesetiaan dan sedia untuk kita"
Melihat dari tatapanya yang kosong dan sedikit senyum, aku menyadari bahwa perkataan tersebut merupakan ungkapan perasaan yang paling dalam.
"tapi aku sama sekali tidak siap!" tiba-tiba ia mendongakkan wajah dan kemudian menatap ke arah ku. Tatapannya bercampur antara harap dan ragu, tatapan itu memaksaku untuk bicara tentang kesimpulan dari percakapan ini.
"aku juga tidak siap" jawabku, sembari membuang wajahku ke depan.
"hal seperti ini bukan untuk dipaksakan, kan? Lagi pula, kita berdua adalah manusia bebas. Menyatakan suatu ikatan sama saja kita saling merenggut kebebasan kan?"
aku sama sekali tidak bisa menatap wajahnya saat itu dan kembali melanjutkan
"aku mengerti, tapi tenang. Aku akan selalu memperhatikanmu"
Setelah mengatakan itu, aku bergegas meninggalkannya tanpa berani melihat raut wajahnya sama sekali.
Komentar
Posting Komentar