TANAH SURGA RASANYA ASIN

Dalam cangkir kopi yang baru kuseduh

Hangat seperti luka yang belum sembuh

Hambar tanpa rasa

Sebab pahit lebih banyak dirasa tubuh

 

Kuambil sedikit garam yang kupungut

Dari pinggiran laut yang makin banyak dikeruk

Sebab tak terbeli gula

Karena lebih penting membeli pulsa dan kuota

 

Aku bukan seorang hipokrit

Namun kucoba bagaimana tetap tersenyum seperti pejabat negara

Aku juga bukan seorang nepo-baby

Yang hanya lalu lalang tanpa mengerti

Tapi dimandikan citra

Dan disembah para pengikutnya

 

Kudengar dari nenek moyang yang kurus kering

Salah satu kepingan surga jatuh di tanah ini

Namun sebagaimana sejarah surgawi

Iblis-iblis juga senang berkumpul di tempat ini

 

Dibangunnya jembatan

Pulau-pulau terhubung (kehancurannya)

Menjulang bukit-bukit yang menjorok mendalam

Katanya, emas keluar dari dalam rahimnya

Aku bergumam “berapa kali dia harus diperkosa?”

Apakah tanah surga juga bising seperti suara mesin?

 

Kuseruput lagi kopiku yang masih hangat

Masih kurang asin

Atau mungkin, masih kurang miskin?

Aku tidak membenci para penjajah

Asal mereka tidak menggusur teras rumah

Selagi masih bisa kunikmati musik jazz murah

Dan para pemimpin bersikap ramah

 

Selama masih bisa menari

Dalam rumah reyot yang hampir rubuh

Kebahagiaanku sudah lebih dulu utuh


Komentar

Postingan Populer