SUDAH LAMA TIDAK MENULIS
Setelah Juni ranggas dari bumi, angin musim senantiasa membawa pergi kata-kata dan ranting musim panas yang mudah terbakar; entah terbakar sepi atau mungkin cemburu. Waktu tak pernah mau tahu apa yang ada di dalam hatiku, atau dalam kepalaku. Ia berjingkrak-jingkrak meludahi segala hal yang telah ia lewati.
Waktu tak punya kepala; makanya dia tidak bisa menoleh; apalagi mata untuk melihat kebahagiaan yang ia renggut. Ia tidak mengenal kesedihan. Ia hanya tahu cara untuk melaju.
Sekian lama ku tunggu-tunggu, akankah waktu membawa kembali kata-kata ku seperti semi puisi di bulan Juni, barangkali, atau, seperti musim kawin yang malamnya penuh desah di sana dan di sini (kecuali para lajang). Musim Panas ini kering kerontang lidah, tak berucap dan tak bercakap. Lagi-lagi hanya angin yang datang membawa sisa abu kebakaran hutan atau kebakaran lahan karena tandus akibat pohonnya tandas.
Barangkali mirip denganku. Di kepala, kata-kata, tandus, mungkin karena terlalu sibuk bekerja jadi inspirasi ku tandas. Apalagi yang ku pikirkan selain kertas dan tinta hitam? selain absen pulang dan bau ac? oh, mungkin kata-kata bosan, atau jenuh melihatku yang hanya duduk di depan laptop berjam-jam amati data, dengan kerah baju terbuka dan reseleting celana menganga?
Di kantor tidak mungkin aku berkata kotor atau berpikiran kotor. harus selalu bersih dan suci seperti lantai masjid (meski untuk diinjak-injak juga). Atau mungkin aku harus pakai kemenyan biar dianggap sakral, biar mistis dan dianggap orang pintar? semoga aja anggapannya aku pintar menulis. Menulis anggaran misalnya.
Sudah berapa kopi dan berapa rembulan yang cahayanya ku teguk dengan tangan kiri? ke mana pula itu puisi? aku mencari kata-kata di kantong celana, yang kudapati hanya wajah Dr. H. Idham Chalid tiga lembar yang melotot karena takut ia kutukar dengan sebungkus rokok Djarum Coklat Extra. Karena kata-kata buruh bara, entah bara api atau bara bara bara, bere bere bere? atau bara permata? entahlah.
Di wc jongkok, otakku ikut jongkok, IQ juga sudah dari dulu jongkok. Bau rokok bercampur tai, kadang membuatku bingung, yang ku hisap ini rokok atau tai? katanya inspirasi akan bermunculan kalau kita buang tai sambil merokok. Kalau aku malah takut moksa. Sedikit saja melamun, bisa terbang aku ke alam sufi. membawa sebatang rokok tapi belum cebok. Anggap saja, tai itu adalah duniawi yang lupa dibersihkan, memang dunia itu bau seperti tai sih.
Hujan ku tunggu-tunggu sejak bulan lalu, Juli. sekarang Agustus sudah hampir selesai. Belum pernah sama sekali ku hirup petrichor di bulan ini. Apakah sekarang hujan harus membayar? karena untuk jatuh ke bumi harus lewat tol polusi di langit? berarti harus tunggu diskon biar hujan bisa turun rombongan.
Coba melihat fenomena politik, barangkali akan ada kata yang menggelitik. Selain banteng yang makin garang, baru aku tahu kalau banteng tidak makan daging, ternyata ia makan kursi. Kursi bukan sembarang kursi, kursi disulap jadi besi. Puisi bukan sembarang puisi, sekali terucap seluruh jiwa terisi. Bukannya dapat inspirasi puisi malah berpantun seperti pelawak. Yah begitulah kalau mengamati tokoh politik, mereka lebih menginspirasi menjadi pelawak karena mereka ********
Di atas kasur ada kata-kata yang sedang mendengkur, ketika ku coba untuk membangunkannya, aku malah diajak tidur. Sampailah saat ini, ia masih saja mendengkur. Mengigau panjang soal kemarau kemarin. Katanya begini "kalau ada angin yang datang membawa daun kering, itu artinya musim kemarau akan segera pergi. tunggulah 30 hari." aku merespon "tolol"
Sudah lama aku tidak menulis, terutama puisi. kata-kata yang biasa tertata di dalam kepala, kini terbata-bata merangkak di angkasa. aku ingin tangkap mereka satu-satu tapi jam 7 pagi aku harus masuk kerja.
Komentar
Posting Komentar