LORONG MIMPI
LORONG MIMPI
Pada suatu
malam yang tenang aku berjalan menyusuri Lorong yang gelap. Hanya pijar lampu
yang ada di atas kepalaku, tidak ada langit dan tidak ada gemintang. Setapak
demi setapak aku melangkah mengganti senyap menjadi derap langkah dan desah
yang teratur. Di satu titik yang aku tak tahu entah di mana diriku, aku bertemu
seorang pria tua yang bungkuk, matanya sangat sipit dan keriput membuat matanya
benar-benar terlihat terpejam. Ia memegang tongkat di tangan kirinya sedangkan
tangan kanannya ia letakkan rapi di punggungnya, tepat di atas tulang pinggul.
Pandangannya fokus tertuju pada sebuah gangsing yang sedang berputar.
“permisi pak, boleh aku bertanya
sesuatu?”
“…………..”
“apakah bapak tahu kita ada di
mana?”
Pria tua itu lantas menoleh padaku dan
menegakkan badan, seolah pose bungkuknya tadi hanyalah lakon. Ia mengamatiku
dalam-dalam, wajahnya begitu dekat menyisir pandangan dari atas hingga ke
bawah.
“kau masih muda, tapi sudah
tersesat yah”
Aku
sama sekali tidak bisa mengerti apa yang pria tua ini ucapkan, satu-satunya
yang paling ingin ku dengar adalah nama tempat, di mana aku saat ini.
“ku beri tahu kau, anak muda. Ini
adalah “Lorong Mimpi” tempat ruh-ruh pergi ke alam mimpi”
“jadi maksudnya, aku sedang
bermimpi?”
Pria
tua itu pun tertawa sangat keras hingga suaranya menggema di setiap sunyi
sepanjang lorong.
“kau berharap kau sedang
bermimpi?”
“bukankah itu yang bapak katakan tadi?”
“ini hanya tempat lewat, anak
muda. Seharusnya para ruh bisa dengan mudah melewati lorong ini, jika ia masih
berada di lorong ini berarti ia gagal memasuki alam mimpi”
“maksudnya aku gagal menuju alam
mimpi dan berakhir di sini?”
“berakhir, juga seluruh hidupmu”
Pria
tua itu kemudian mengangkat tongkatnya dan dengan gerakan cepat ia berusaha
memukulku, aku yang kurang cekatan hanya bisa memejamkan mata, namun ketika aku
membuka mata, ku lihat tongkatnya tepat berada di bagian dalam leherku, seolah
berhasil ia menusukkan tongkatnya.
“kau adalah ruh, kau tidak
memiliki bentuk fisik”
Aku
hanya bisa diam menyaksikan hal itu dan menunggu penjelasan pria tua itu lebih
lanjut.
“di dunia nyata kau bisa dibilang
mati, karena ruh mu berhasil meninggalkan jasad. Tapi karena ruh mu gagal
memasuki alam mimpi, maka ruh mu terjebak di sini, di “Lorong Mimpi”
“apakah ruh ku tidak bisa
kembali?”
“tentu saja tidak karena
kesadaranmu berhasil kau bawa”
“kesadaranku?”
“ya, kendali penuh atas dirimu,
dan segala konsekuensi logis berhasil kau bawa sehingga kau gagal memasuki alam
mimpi. Apakah sebelum tidur kau mengalami hari yang berat?”
“sangat berat, bisa dibilang aku
mengalami hari yang cukup buruk pak”
“berhentilah memanggilku pak”
“lalu aku harus memanggilmu apa?”
“kau tak perlu memanggilku, lagi
pula aku terlalu tua untuk dipanggil pak, usia ku sudah jutaan ribu tahun, kosa
kata manusia sudah terbatas untuk menemukan panggilan yang cocok untuk makhluk
yang berusia ratusan juta tahun”
Aku
benar-benar tercengang mendengar usianya, tapi aku juga tidak boleh
mempercayainya begitu saja. Jika benar aku ruh, seharusnya aku tidak berjalan,
seharusnya aku bisa terbang.
“bolehkah aku pergi sekarang?”
“hendak kemana? Kau bahkan tidak
tahu harus apa dan bagaimana kan, anak muda”
“tapi aku tidak bisa berdiam diri
di sini, aku harus mencari jalan keluar”
“oh, pantas saja kau mudah
tersesat, ternyata kau orang yang tidak sabaran dan tak mau mendengarkan orang
lain. Silahkan, pergilah”
Aku
pun akhirnya pergi dari pria tua itu sembari merenungi perkataannya dan mulai
meragukan diriku sendiri, apakah aku tersesat karena enggan mendengarkan orang
lain? Atau karena aku selalu buru-buru? Sembari merenungi itu, aku mempercepat
langkahku dan tiba-tiba aku melesat terbang. Aku sedikit kagum namun juga ada
kekhawatiran yang belum hilang.
“sudah merasa putus asa?”
Ternyata
yang bertanya itu adalah makhluk berusia jutaan tahun yang tadi. Ku pikir ia
mengikutiku.
“kau tahu, ada selisih waktu
antara Lorong Mimpi dengan dunia nyata yang kau tinggali, selisihnya dalam 1
menit di lorong ini berarti 1 minggu di dunia nyata. Itu berarti sudah 1 minggu
jasadmu kosong. Haha”
“bisakah kau berhenti bicara, aku
yakin kau juga terjebak di sini, berhentilah mengikutiku!”
“selain tidak sabaran dan tidak
mendengarkan orang lain ternyata kau juga tidak bisa berpikir”
“apa maksudmu?”
“lihatlah gangsing yang berputar
di hadapanku ini, ini bukti bahwa aku tidak beranjak dari sini, itu berarti
bahwa kau hanya berputar-putar”
Benar
juga yang ia katakan, ku rasa ia bukan makhluk biasa atau manusia, mungkin dia
“sesuatu yang lain”
“sudah mau mendengarkanku?”
“baiklah, aku menyerah”
“bagus, banyak mendengarkan
petuah seharusnya tidak akan membuatmu tersesat, anak muda. Apalagi tersesat di
Lorong Mimpi sendiri”
Aku
mulai diam dan fokus untuk mendengarkannya bicara.
“Lorong Mimpi” pada dasarnya
tidak memiliki jarak, dan tidak memiliki ruang, karenanya itu tidak berlaku
pada dimensi fisik. Tapi dunia ini tetap memiliki waktu, pada dasarnya karena
waktu itu terikat dengan dunia nyata”
“aku berusaha mencerna setiap
kata yang kau ucapkan”
“bagus. Ruh-ruh biasanya melewati
lorong ini dengan kecepatan cahaya, kecepatan yang sudah tidak bisa lagi diukur
oleh logic manusia, sedangkan kau terjebak di sini karena masih membawa
kesadaranmu, kesedaran logis yang tidak mengetahui seperti apa itu kecepatan
cahaya”
“mulai masuk akal”
“justru karena itulah kau
tersesat”
“bisa kau lanjutkan?”
“seharusnya kau tidak perlu
banyak berpikir saat hidup di dunia. Itu akan memberikanmu keselamatan”
“baik, aku mengerti. Silahkan
teruskan”
“anak baik. Kau lihat gangsing
yang berputar di hadapanku ini, ini adalah dunia yang sedang ku jaga”
“dunia apa?”
“dunia para manusia, jika sedikit
saja aku bergerak atau tidak sengaja dimensiku menggerakkan gangsing itu maka
akan terjadi bencana di sana, entah itu gempa bumi atau tsunami”
“aku mulai takut mendengarkanmu”
“haha, tenanglah. Aku bisa
membuatmu masuk ke dalam dunia ini dengan mudah”
“aku merasa sedikit lega, tapi
sudah berapa lama aku berada di sini?”
“kau akan mengetahuinya, tapi
konsekuensinya kau tidak akan mengingat percakapan kita di sini ketika kau
kembali ke dunia nyata. Tapi ketika kau kembali lagi ke sini, kau akan bisa
kembali mengingatnya”
“bagaimana bisa aku kembali ke
sini?”
“ketika tanda-tanda kematian
mendekat”
Ia
tertawa terbahak-bahak dan tiba-tiba pandanganku menjadi gelap.
“…………………”
“………………..”
“……………….”
“……………….”
Aku
menghembuskan nafas dan mulai mengatur pernafasan. Aku merasakan bagaimana
tubuhku diselimuti oleh pakaian yang hangat, aku merasakan bagaimana basah
masih melekat di rambutku, aku bisa merasakan bagaimana tanganku diselimuti
oleh sarung tangan, aku bahkan bisa merasakan kakiku mengenakan sepatu. Semakin
lama nafasku semakin sesak dan aku merasa begitu sempit.
Aku
membuka mata dan pandanganku terhalang oleh sebuah kain halus berwarna putih.
Aku menoleh ke kanan lalu ke kiri dan kembali melihat ke atas, semuanya
berwarna putih. Ah yah, dandanan yang rapih dan dibatasi kain berwarna putih
menandakan aku berada dalam peti mati. Aku juga mulai mengingat peristiwa
sebelumnya, aku pulang bekerja karena tekanan stress yang begitu berat, aku
mengonsumsi obat-obatan di luar dosis yang disarankan, aku ingat bahwa aku
harus menyelesaikan pekerjaan kantor ku yang tertunda, aku ingat bahwa obat
itulah yang kemudian menyebabkan aku mengalami overdosis, aku koma dan berada di
rumah sakit waktu itu. Aku ingat bahwa aku sama sekali tidak memiliki seorang
teman, aku ingat bahwa aku tidak bisa menceritakan segala keluh kesahku pada
siapapun, aku ingat, aku ingat kembali wajah pria tua itu, wajah pria tua itu
adalah wajah bos ku. Aku bahkan ingat percakapan dengannya di “Lorong Mimpi”
Ah,
inilah tanda kematian itu.
Aku
mendengar tawa yang begitu menggema.
“selamat datang kembali!”
“aku ingat semuanya. Kenapa kau
menggunakan wajah bos ku?”
“inilah wajah yang paling kau
takuti, anak muda. Wajah yang bisa membawamu pada kematian”
“kau benar, sekarang aku yakin
dirimu yang sebenarnya siapa”
“hahahaha, ya, aku adalah
Izrail!”
Ia
kembali tertawa dan kali ini ku lihat ia tidak lagi memegang tongkat, ia
memegang sebuah sabit besar yang tajam, seolah melihatnya saja bisa membuat
matamu teriris.
“kau sudah siap untuk perhentian
selanjutnya?”
“kemana aku akan berakhir? Apakah
surga atau neraka?”
“hahahaha. Keduanya tidak
diciptakan untuk orang yang hidupnya membosankan seperti mu, anak muda”
ia
kali ini lebih banyak tertawa. Aku sadar bahwa hidupku memang membosankan,
neraka atau pun surga ku rasa memang kurang cocok. Bila di neraka mungkin yang
ku sesali hanya terlalu sibuk bekerja, dan bila aku masuk surga, ku rasa aku
sama sekali tidak berbuat baik karena terlalu sibuk bekerja. Benar-benar alasan
yang kurang cocok.
“jadi, kemana aku?”
“reinkarnasi! Kau akan kembali
hidup di dunia!”
“benarkah? Apakah itu boleh?”
“tentu saja, hahaha”
“baiklah, aku janji akan hidup
semaksimal mungkin”
“hahaha, kau tidak akan terlahir
sebagai manusia. Kau akan terlahir sebagai katak yang meratapi kehidupanmu
sebelumnya dan selalu menangis di tengah malam bersama dengan katak-katak lain
yang memiliki nasib yang sama. Hahaha”
Astaga,
jadi itukah alasan kenapa katak sering berisik setiap malam bersama-sama? Aku,
akan memulai kembali hidup yang membosankan.
(End)
Komentar
Posting Komentar