Lof I - VII
"mungkin sekitar 6 bulan atau lebih, aku berada di luar jangkauan"
"Oh, begitu. Jaga diri yah"
Setelah beberapa hari bertannya-tanya tentangnya, aku baru memiliki keberanian untuk menanyakan keadaannya via telepon. Rupanya ia sedang berada di luar pulau dikarenakan suatu kegiatan yang digagas organisasi sukarelawan dengan tujuan mengajar untuk anak-anak di daerah-daerah terpencil. Aku sadar bahwa langkahnya kini sudah sangat jauh dan tak bisa ku kejar.
Memang begitulah ia, begitulah bagaimana ia membuatku tertarik.
Pada pagi hari itu juga akhirnya aku menyadari bahwa hari-hariku kali ini akan terasa biru karena keberadaannya yang sulit ditemui, Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti menghubunginya selama jangka waktu yang telah ia tentukan.
Setidaknya hal itu cukup menguji rasa dan menguji rindu. Jika benar-benar aku memang menyukainya, perasaanku pasti tidak akan berubah meski kita tidak berkomunikasi selama apapun itu.
Perihal ia yang sudah melangkah jauh, aku pun mulai memikirkan tentang langkahku selanjutnya.
Aku mempersiapkan segala keperluan dan mulai mencari lowongan pekerjaan, tentu saja dalam langkah yang paling aman aku lebih memilih untuk menjadi pengajar di sekolah, siap atau tidak hanya itu yang bisa kuandalkan jika aku ingin memanfaatkan title sarjanaku yang seorang sarjana pendidikan.
Setelah mandi dan merapihkan tempat kost yang akan segera ku tinggalkan selamanya ini serta setelah berhari-hari terpuruk di dalam kost, kini aku siap untuk pulang dan melanjutkan hidup di tanah kelahiran.
Aku siap meninggalkan kota yang tersisa banyak kata-kata dan yang menyembunyikan banyak rasa dan perasaan sedih.
Aku sampai di sebuah hotel, dengan maksud menemui seseorang yang ku kenal baik.
Hari ini adalah hari pelantikannya menjadi pengurus suatu organisasi nasional. Ia dilantik menjadi pengurus dengan cakupan wilayah yang lebih luas, yah seorang pengurus pusat.
Nan, ia memang seorang aktivis. Sebelumnya ia pernah menjadi seorang ketua organisasi, hal ini tentu menandakan bahwa ia perempuan yang berbeda.
Aku sengaja datang meskipun Nan sama sekali tidak memberitahu, anggaplah sebagai penebusan dosa karena aku telah meninggalkannya begitu saja saat hari wisuda.
Aku duduk di salah satu kursi yang tersedia untuk tamu undangan.
Aku bisa melihatnya dari jarak sekitar 7 meter, dan ternyata ketika masuk sudah mulai sesi pelantikan.
ia berada di barisan depan, dengan almamater berwarna menyala dan kacamata list hitam, Ia terlihat sangat siap. Tatapan semangat yang biasa ku lihat itu terlihat tegas dan ayu pada satu waktu.
Begitu selesai sesi pelantikan, aku langsung meninggalkan tempat itu tanpa menyapa dan bergegas untuk menuju rumah.
"heh, gak sopan banget!" terdengar suara yang sangat ku kenal.
Aku membalikkan badan dan tersenyum. Ia menghampiri dan memelukku, kemudian aku menjabat tangannya dan mengucapkan selamat.
"gimana sekarang? sudah punya tujuan?" tanyanya.
"ya, gua akan jadi seorang guru" jawabku.
Baru saja aku hendak berpamitan ia kembali menarik tanganku.
"kita udah lama gak ngerokok bareng, pak guru! Ayo kita ngerokok dulu baru lu boleh balik!"
Kurasa, inilah perpisahan. Aku mengikutinya pergi ke salah satu warung pinggir jalan di dekat hotel, dan mulai berbincang soal masa depan setelah memesan kopi.
Kami bercengkrama tentang bagaimana waktu merenggut segalanya, segala tawa, segala luka dan segala cerita yang habis pada kata-kata.
Komentar
Posting Komentar